Filsafat ketuhanan adalah pemikiran objektif, sistematik, dan mendasar tentang Tuhan yang tidak fokus ke ajaran atau agama tertentu.
Justru kalau kamu masih percaya akan Tuhan, dan bukan seorang fideisme (menolak segala pemikiran kritis tentang iman), kamu bisa banget belajar Filsafat Tuhan.
Pengaplikasian agama (kita asumsikan bukan agamanya) memang banyak kekurangan dan pantas untuk dikritisi. Motivasi yang benar tidak selalu menghasilkan sesuatu yang benar, kan? Feuerbach mengkritik agama hanya sebagai proyeksi dari hakikat manusia yang terasing. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi sebaliknya, Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Sejalan dengan Feuerbach, Marx mengatakan Tuhan dan agama hanya khayalan dari manusia karena kehidupan menindasnya.
Menurut Nietzsche, Tuhan telah mati, manusia lah yang membunuhnya. Selama ini agama hanya pelarian manusia dari dirinya sendiri dan membuat manusia tidak bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Freud menyatakan bahwa agama adalah sebuah neurosis kolektif. Agama bagi Sartre hanyalah akibat dari ketakutan manusia terhadap kebebasannya. Penderitaan dan kejahatan yang ada di dunia tidak masuk akal, absurd dan bukti bagi Camus bahwa tidak ada Tuhan.
Minggu lalu aku baca buku Menalar Tuhan dari Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno. Di sana beliau berusaha membuktikan bahwa orang dengan akal yang sehat, yang mampu berfikir kritis dan nggak mudah percaya, tidak bertakhayul, hidup di zaman modern dan berkomunikasi biasa dengan lingkungannya, kalau tetap percaya pada Tuhan, maka dia tidak melakukan hal yang aneh atau tidak masuk akal atau inkonsisten dengan kemodernannya.
Viktor E. Frankl yang pernah menjadi tawanan nazi selama 3 tahun melihat bahwa kawan-kawannya yang memiliki iman dan agama lebih mampu mengatasi penderitaan dalam kehidupan kamp konsentrasi dibanding mereka yang tidak. Kalau Immanuel Kant mengimani keberadaan Tuhan sebagai tuntutan moral, sebagai sesuatu yang praktis. Iman kepada jiwa abadi, keberadaan Tuhan, dan kepada kehendak bebas sangat berarti bagi moralitas manusia, katanya.
Percaya atau tidak akan adanya Tuhan adalah masuk akal. Udah lah, kita akui saja nggak ada yang tau pasti kebenaran 100% apa yang terjadi pada jiwa (kita asumsikan ada jiwa) setelah tubuh mati. Itu keterbatasan kita, dan setiap manusia bebas dalam menyikapi keterbatasan itu. Yang nggak masuk akal itu intoleransi ekstrim, di mana sekelompok orang menjadi marah luar biasa sampai melakukan perbuatan keji seperti pembunuhan, ketika melihat orang mengatakan sesuatu yang menghujat imannya, melanggar peraturan imannya, atau sekedar berlainan iman.
Padahal selalu ada jurang antara yang kita ketahui dengan yang menurut kita telah diketahui. Jurang itu sangat lebar dan berbahaya. Sebagai contoh, pada periode awal Masehi, perseteruan antara Yahudi dan Romawi disebabkan oleh pemaksaan orang Romawi untuk memasang patung Caligula di Yerusalem. Orang Romawi tidak mengerti bahwa dalam agama Yahudi, Tuhan hanya satu, abstrak, dan tidak boleh direpresentasikan menggunakan simbol seperti karakteristik manusia. Sedangkan orang Yahudi juga tidak mengerti bahwa bagi agama Romawi, Tuhan ada banyak dan selalu ada ruang untuk kedatangan Tuhan baru. Perseteruan tersebut banyak menelan korban jiwa dari kedua kubu.
Tampaknya sudah dari dulu kita tidak mengerti satu sama lain. Padahal kita bisa saling mengerti kalau menyerahkan ranah iman dan keyakinan agama menjadi urusan individual. Kalau seorang individu menerimanya, itu haknya. Mau menjunjung tinggi apa yang dipercayai dan meyakini dengan serius juga hak masing-masing. Kalau seorang individu meragukannya, atau tidak percaya, atau percaya dengan cara lain, itu juga haknya. Tidak ada yang perlu diributkan. Apalagi saling menyakiti dan membunuh. Jangan punya otak yang tebelakang sampai hampir 21 abad gitu lah. Jangan mempunyai pandangan yang sempit, merasa unggul dan terlalu sombong lalu melakukan pemaksaan yang tidak berperasaan. Bisa nggak?
Iman yang teguh dan intoleransi selalu bagaikan dua sisi mata uang.
Mereka berkhotbah tentang kasih Tuhan, namun juga berkhotbah dua kali lipat tentang murka dan intoleransi Tuhan.
― Haruki Murakami
Everyone of us is, in the cosmic prespective, precious. If a human disagrees with you, let him live. In a hundred billion galaxies, you will not find another.
― Carl Sagan
Referensi:
Menalar Tuhan - Franz Magnis-Suseno
Man's Search for Meaning - Viktor E. Frankl
The Black Swan - Nassim Nicholas Taleb