Slogan Jadilah Dirimu Sendiri yang kian marak menunjukkan kebutuhan kita akan perbedaan. Apakah kita benar-benar berbeda? Sebuah entitas yang unik dengan hidup penuh makna, seorang pemikir bebas dalam kosmosnya sendiri, individualis yang mengikuti keinginannya dan menentukan masa depannya sendiri?
Cuman kebetulan bahwa kepercayaan kita sama dengan kepercayaan orang tua kita, pilihan kita mirip, gagasan kita sama dengan mayoritas orang, berita yang kita dengar sama, film yang kita tonton sama, buku yang kita baca sama, hidup dalam sebuah sistem ekonomi dan politik yang sama dengan rutinitas yang hampir sama.
Memang nggak ada yang original di dunia ini. Kita jelas-jelas adalah produk imitasi. Kromosom kita terdiri dari 23 pasangan yang berasal dari sperma dan sel telur kedua orang tua kita. Kita dilahirkan dalam sebuah realitas historis tertentu dan diciptakan oleh rantai peristiwa sejarah yang akhirnya membentuk masyarakat dan diri kita. Jadi dari dalam (diwakili oleh gen) dan dari luar (diwakili oleh gagasan), kita adalah produk imitasi.
Kita dibangun sebagai mesin gen dan dibudidayakan sebagai mesin gagasan.
―Richard Dawkins
Gagasan dan gen, sama-sama membiakkan diri dengan berpindah dari tubuh ke tubuh. Gen melalui sperma atau sel telur, gagasan melalui lisan atau tulisan. Selanjutnya setelah berhasil masuk ke otak, gagasan berkembang bagaikan parasit. Gen juga bekerja untuk membentuk sel makhluk hidup baru setelah terjadi pembuahan seksual.
Jadi, apa arti kebebasan bagi manusia? Apakah kita selama ini benar-benar memilih? Atau kita cuman merasa seolah-olah memilih padahal semuanya sudah ditetapkan? Mungkinkah kita salah menganggap bahwa kita mampu memilih berbagai hal secara bebas?
Menjadi diri sendiri memang bukan tentang menghasilkan sesuatu dari ketiadaan, kita terlahir tanpa bisa memilih semuanya. Tapi kita punya kemampuan untuk mengolah informasi dan membuat keputusan di antara banyaknya pilihan berdasarkan pengalaman unik kita. Kata David Eagleman, selama proses evolusi, otak kita mengalami perluasan antara bagian yang menerima input dan menghasilkan output, membuat kita memiliki sangat banyak pilihan. Dalam proses menentukan pilihan tersebut, kita punya kemampuan untuk percaya atau tidak percaya; menyebarkan atau tidak menyebarkan; merubah atau tidak merubah; menerima atau menolak; patuh atau melawan. Dalam sejarah ilmu pengetahuan atau filsafat bisa kita lihat bahwa manusia mampu membuat, memperkuat, memperluas, mengkritik ataupun menolak sebuah gagasan.
Kata Kazuo Murakami, gen bukan faktor penentu mutlak bawaan lahir yang nggak bisa diubah (toh kita lagi gencar-gencarnya penelitian tentang rekayasa genetika), tapi cuman faktor kemungkinan aja untuk memperluas kemampuan.
Ada kemungkinan kita memang punya kebebasan, tapi kebebasan itu tetap terbatas. Meminjam kata-kata Viktor E. Frankl, manusia memang makhluk yang terbatas, dan keterbatasannya juga terbatas. Kebebasan manusia tidak terbebas dari kondisi. Namun, manusia bebas untuk menyikapi berbagai kondisi. Kalau menurut John Locke, pengetahuan kita terbatas oleh ide, ide kita terbatas oleh pengalaman, pengalaman kita terbatas oleh objek di sekitar kita.
Saat ini bisa disimpulkan dulu, kita bebas dan tidak bebas dalam waktu yang bersamaan. Kita berbeda dan tidak berbeda dalam waktu yang bersamaan. Kita mandiri sekaligus menjadi anggota suatu kelompok. Mesin ini walaupun berada pada galaksinya masing-masing, masih merupakan anggota dari jagat raya dengan segala aturan-aturannya. Dan dari semua keterbatasan itu, lebih baik kita ikut serta menulis jalan ceritanya. Tambahkan sesuatu, ubah naskahnya. Lakukan apapun untuk memperluas objek di sekitar kita. Baca banyak buku, lakukan diskusi, traveling. Berusaha memastikan alur dan endingnya baik.
Dunia terus berputar. Apa arti kebebasan bagi kamu?
Referensi:
Selfish Gene - Richard Dawkins
The Creative Brain - David Eagleman
Misteri DNA - Kazuo Murakami
Man's Search for Meaning - Viktor E. Frankl